Pages

BERITA RAKYAT

 
0 comments

1
CERITA ANAK DHU’AFA
DIGEDONG OPERA HOUSE

1.   LANGKAH AWAL MENGEJAR SANDIWARA HIDUP
Bentangan biru dengan hamparan laut yang luas dengan hijaunya tepian daratan menguatkan seni yang tiada terkalahkan sebagai bentuk maha karya sang pecipta, keagungannya memberikan keindahan  hidangan mata yang patut disyukuri. Tuhan memang mengistimewakan negri ini sebagai tanah surga yang tebuang dari asalnya dengan tanahnya yang subur dan hamparan gunung yang menjulang menjadikannya sebagai benteng yang kokoh untuk bertahan hidup berbagai macam makhluk, hidup dengan menikmati karunia alam itu mulai dari yang berotak sampai yang berotot semuaa memenuhi kehidupan negri itu, kenapa tidak kekayaan alamnya menjadikan dia primadona dunia, kesuburany menjadikan dia incaran pesaing lain, dan keindahannya mejadikan dia sebuah kekaguman tersendiri bagi mata memandang.
Dinegri subur ini apapun tumbuh untuk menjadi makanan, kayu yang ditancapkan ketanah yang mampu mengeluarkan sayur-sayuran-dengan uratnya menjadi umbian makanan yang sehat untuk kehidupan bahkan batupun bisa tumbuh menjadi makanan yang menyangkan bukan itu saja gula yang manis dikeluarkaan dari sejenis suku dari rumput-rumputan yang mengandung air gula sehingga melengkapi paginya para petani, itu baru hanya sebahagian kekayaan alam ini tempat kami berdiri di tanah ibu pertiwi singgasana rakyat jelata.
Kicauan suara pipit disawah bernyanyi riang diatas hamparan butir padi berwarna kuning yang menari-nari menggoda si tampan langit yang menerbangkan sayap kecoklatan  walaupun dalam tatapan sang pendekar langit seakan ingin menghampiri dan bertengger diatas dahan yang terbuai dengan kelembutan sentuhan angina namun ragu hingga mngurungkan niat karna ada sesosok benda yang bergerak dari kayu seakan menggertak agar jangan mendekati,sehingga terpana memandang kekokohan gunung yang menantang setiap makhluk yang menatapnya walaupun menancapkan mata  jauh ke langit biru yang tertampung airnya disempurnakan oleh hamparan laut yang dihiasi tarian lumba-lumba yang ceria menyambut setiap mata yang menatapnya, dengan kokoh indahnya negri ini dengan rantai kehidupan yang sudah diatur tuhan dari dahulu kalanya.
Diatas gunung itulah seorang anak piatu berdiri menghadap ke timur memandang jauh sisi atap rumahnya yang di tutupi daun kelapa, dibelakangnya berdiri mercusuar bukit lampu bekas peninggalan belanda sebagai tanda merapatnya kapal dijamannya Kawasan ini bernama Mensu Bramas perbatasan sungai bramas dan bungus. Mercusuar ini telah ada sejak zaman penjajahan Belanda yang digunakan untuk memantau sistem navigasi kapal . Sambil berdiam memandang laut anak yang baru berumur 15 tahun itu menatap kosong jauh kearah bekas sekolah yang baru menamatkannya tingkat MTsS, pikirannya berkecamuk sambil menangis sedihnya tak terbendung kemana akan dilangkahkan kaki ini, setelah selesai menahan kesendirian di sekolah asalnya itu dia tiada punya daya melanjutkan kesekolah berikutnya, gersangnya pendidikan ini tampa kasih sayang keluarganya semnjak kepergian sang ibu menjadikan dia lemah bercita-cita. Rasa berkecil hati ini masih membuat dia terpukul dengan prestasi yang hanya pas-pas saja mana mungkin bisa sekolah kejenjang berikutnya. Sambil hatinya berteriak berkata  mana mungkin ayah…..mana mungkin ibu…mana mungkin kakakku aku berjuang tampah kekuatan hati kalian sedangkan kalian hdiup dengan dunia kalian dan sibuk dengan keluarga kalian apa salahku bersaudara dengan kalian namun kosong dari kehadiran dan perhatian kenapa…kenapa…kenapa ….tangisan itu seakan didengar oleh ibunya dari terpaan awan yang bercampur dengan mendungnya awan, mengisyaratkan ibuny mendengarkan kesedihan sianak malang itu, andaikan ibuny ada mungkin sudah dipeluk erat anaknya yang baru seumur jagung itu, namun penderitaanya sudah berat kepundak lemah yang masih haus akan genggaman tangan kokoh dari sang ayah dan dari halusnya belain sang ibu yang tiada habis sayangnya, kenap tidak selama 3 tahun bersekolah di teluk yang tiada jalan alat transportasi hanya perahu kecil.sedih hatinya tiada yang mengunjungi, tiada kabar yang mendatangi, bahkan kiriman yang dia dapat hanya  diterima dari terpaan angin yang berlalu lalang di wajahnya, malang benar lah anak itu temannya-temanya dikunjungi dari kampong yang jauh tanda rasa kasih yang jauh berdekat ,bukan dari kasih yang nampak tapi berjauh. Sebenarnya antara sekolah dan tempat tinggalnya bisa dilihat lepas dari pantai. Setiap memandang di depan sekolahnya itu lah yang selama ini membuat dia terpukul karna setiap bulan teman-temanya kedatangan keluarga yang membawa perbekalan dari kampong. Sedangkan dia hanya bisa berlari menangisi kejamnya buruk rupa nasib yang membuat alasan kunjungan keluarganya terhambat karna ongkos perut yang harus dipikirkan sehingga terlupakan lah si bocah santri yang selalu merudung nasib berhiba, dia selalu bertanya, kemana mereka yang banyak, kemana mereka yang sedarah itu, kemana bapak yang punya darah ini, kenapa tiada menjenguk, mengunjungi, tiada kasihan kah pada sibocah yang baru dirudung malang setelah kehilangan ibunya, kenapa pepatah itu bertuah sehingga tiada yang salah kata orang bijak” kasih sayang ibu sepanjang jalan kasih sayang ayah sepanjang galah”, bila ibu meninggal maka bayangan ayah terbawa mati bersama ibu, yang hidup dari ayah hanya lah nama, sedangkan  tanggung jawab dan jalan masa depan pikirkan lah bagi yang bernyawa..ayah pergi ke rumah istri barunya karna begitulah kebiasaan dikampunya bila istri meninggal lelaki turun dari rumah,sianak takut ber ibu baru menjadikan pilihan hidup mana yang hendak ditempuh, sendiri atau menderita,,,,,,tentu jikala ikut ayah belum tentu bahgia dengan suasana ibu baru atau hidup sendiri dipanti asuhan juga menderita, SEHIGGA KETAKUTAN seorang anak ini mengikuti suara hatinya yang yakin  dengan ilmu mampu membawa orang bercita-cita tinggi, pesan ibunya yang masih terngiang keras di benaknya….(kamu harus sekolah biar bisa sekolah di angkatan jadi bapak tentara..) ya dinegri itu rata-rata pemudanya bercita-cita ingin jadi pahlawan bagi negri ini sehingga apapun akan dilakukan agar mereka lolos. Kadang bila ada kakak-kakak yang baru pulang dari pelatihan setelah pendidikan 6 bulan maka mereka akan jadi primadona kampong bahkan di incar para bunga mekar gadis kamppung. memang Nampak perbedaannya, kewibaannya, dan badan yang terbentuk dengan baik.sehingga dikalangan kampong dia dipuji-puji, disegani tapi bagi, sibocah yang masih seumuran jagung itu hanya bisa menghayalkan kapan bila bisa memakai baju loreng dengan tas ransel militer yang kokoh dipunggung, dikala itu profesi ini menjadi impian pada umumnya anak muda disana. Sehingga ada diantara mereka yang berseloroh (ambo kalo tidak bisa masuk tentara, ambo masuk polisi, kalo tidak juga bisa ambo jadi sat pol PP, kalo juga tidak bisa bialah satpam ajo hehehehe) begitulah gurauan anak-anak muda disana sehingga sibocah yang ingusan itu tertawa kecil merasa patah arang. Kenapa tidak sandaran kokoh kini berganti lapukan hati yang bernaung pada jalan langkah yang tiada tau harus kemana. Pengalaman yang baru setinggi bayam harus menentukan mau jadi apa, jikala kawan punya tempaat berkehendak dia hanya tersenyum menahan perih tampa tiada keinginan buat hidup….karna berccita-cita tiada tau kemana mau diarahkan.

Setelah menuruti alur hati yang berkecamuk, membiarkan sungai mungil mengalir diwajah polos itu, awan yang membendung kehitaman mengintip dari tadi juga ikut  menemani sebagai pelukan dari ibunda tercinta mencurahkan dari langit rintihan air mata cinta pada anaknya. Dan dia segara bergegas pulang kerumahnya.sambil berjalan terbuai dengan kata bijak buya hamka..”hidup ini  bukanlah suatu jalan yang datar dan ditaburi bunga melainkan adakalanya disirami air mata dan juga darah
bersambung
Read more...